Jumat, 23 Juli 2010

Tingkatan Takwa dan Muhasabah diri

(1) Al-musyaarathah (mengikat perjanjian) seorang pedagang selalu membuat perjanjian dengan rekan bisnisnya, lalu membuat perhitungan-perhitungan agar selalu mendapatkan keuntungan, begitu pula hati membutuhkan kerjasama dari jiwa, memberikan kepadanya tugas-tugas, membuat perjanjian-perjanjian dan membimbingnya ke arah yang lurus, tidak lupa pula memonitornya, karena hati tidak selalu aman dari pengkhianatan jiwa dan sikapnya yang menyia-nyiakan modal utamanya, karena jiwa (nafsu) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, dalam firman-Nya : "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan..." (QS.Yusuf:53)

Menghisab jiwa tersebut dan menuntutnya agar menepati semua perjanjian yg telah disepakati, karena hal tersebut dapat menyelamatkan seorang hamba dari siksa yang sangat pedih dan keuntungannya adalah surga firdaus yang tinggi.

Menghisab (mengevaluasi) dan mempersempit ruang gerak, bisikan dan khayalannya sangatlah penting agar mendapatkan keuntungan di akhirat nantinya. sebab setiap nafas kehidupan adalah sebuah mutiara berharga yang tidak ada gantinya. "Karena itu orang yang beruntung adalah orang yang dapat menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah mati, sedangkan orang yang lemah akalnya adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan banyak berangan-angan.

Umar al-Faruq RA berkata: Hisablah (hitunglah) diri kalian sebelum kalian dihisab nanti, dan hiasilah diri kalian untuk menghadapi hari yang besar, sesungguhnya perhitungan amal pada hari akhir akan dirasakan ringan bagi orang yang selalu menghisab dirinya di dunia ( Sunan at-Tirmidzi IV/638)

(2) Al-Muraaqabah (selalu mengawasi diri) Jika seorang manusia telah berwasiat kepada dirinya dan melakukan perjanjian dengannya, maka tidak ada yang tersisa lagi kecuali melakukan pengawasan dan perhatian penuh kepadanya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT : .....Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada didalam hatimu; maka takutlah kepada-nya....(QS. Al-Baqarah:235)  

Ketika Rasulullah ditanya tentang al-ihsan, Maka beliau menjawab " Hendaklah Engkau beribadah kepada-Nya seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihatnya sesungguh-Nya Allah pasti melihatmu (HR.Muslim no 8 dari Umar RA) 

Sehingga seorang hamba harus mengevaluasi dirinya sebelum melakukan pekerjaan, ketika melakukan dan setelah melakukannya. "Sebelum melakukan pekerjaan" maksudnya adalah, apakah yang menggerakkanya untuk hal tersebut adalah hawa nafsu atau keridhaan Allah SWT ? Jika motivasinya itu adalah karena Allah, maka (hendaklah) dia lakukan dan jika tidak, maka dia tinggalkan. Dan inilah makna ikhlas. 

"ketika sedang melakukannya" maksudnya adalah, apakah dia melakukannya dengan memperindahnya sehingga dapat pujian manusia atau  takut mendapat celaan mereka ataukah dia melakukannya agar Allah melihatnya sedangkan dia tengah melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? jika karena Allah maka hendaklah dia lanjutkandan jika tidak, maka dia harus meminta ampunan. 

"Setelah selesai melakukannya" maksudnya adalah, apakah engkau senang dipuji karena perbuatan yang telah dilakukan dan mencari kata-kata pujian dari orang lain, jika mereka tidak melakukannya maka engkau lari dari amal tersebut. sehingga orang yang benar-benar menjadi hamba-Nya tidak akan menyukai perhatian orang lain, dia hanya gembira dengan karunia Allah SWT, senang karena ketaatan kepada-Nya dan bukan karena pekerjaan itu sendiri.

Diriwayatkan dari Abu Dzarr RA, dia bertanya: "Wahai Rasulullah! Bagaimana menurutmu jika seseorang melakukan kebaikan, lalu ia mendapatkan pujian dari orang lain? Rasulullah menjawab " itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang Mukmin" ( HR Muslim no 2642)

Maka muraaqabah bisa terwujud dengan ilmu secara berkesinambungan dan juga ketakwaan dengan perasaan bahwasanya Allah selalu mengawasi lahir dan bathinnya. sedangkan hakekat dari muraaqabah, buah dari ilmunya bahwasanya Allah selalu mengawasi dan melihatnya, mendengar perkataannya. Dia mengetahui setiap perbuatan dan apa yang terlintas dihatinya dalam setiap waktu. 

(3) Al-mujahadah (bersungguh-sungguh)   Allah SWT menjelaskan  dalam QS.Al-Ankabuut : 69 tentang jihad dalam arti yang umum, diantaranya adalah jihad an-nufuus (berjuang melawan hawa nafsu) dan berjaga-jaga diperbatasan wilayah perbatasan agar tidak terjerumus kedalam perangkap syaitan dalam keadaan manusia lengah.  



(4) At-taslim (berserah diri), tingkatan ini memiliki tiga tahapan, yaitu at-tahkiim (menerima keputusan hukum), lapang dada, dan berserah diri. At-tahkiim mencakup al-musyaarathah dan al-muraaqabah agar jiwanya tegak diatas perintah Allah dan Rasul-Nya. Adapun lapang dada dengan terlepasnya semua kesempitan, itu bisa dilakukan dengan al-mujahadah, sehingga hati dapat mencapai tingkatan tasliim (berserah diri) atau terbebas dari kerancuan tentang berita yang benar, syahwat yang bertentangan dengan ketulusan, pembangkangan yang bertentangan dengan takdir atau rasa cinta yang menggeser rasa cinta kepada-Nya


(5) Ar-Ridhaa(Ridha), Beberapa hal yang dapat mendukung untuk ridha menjadikan Allah sebagai Rabb yaitu antara laing : (1) Tawakkal kepada Allah. Ridha adalah terminalakhir bagi sebuah Tawakkal
(2) Konsisten dalam melakukan sesuatu yang menjadikan Allah ridha padanya.
(3)Mengakui kelemahan diri, dengan pengakuan ini maka seorang hamba akan menghadap kepada Rabbnya dengan penyerahan diri dan ridha atas keputusan-Nya
(4) Mengetahui kasih sayang Allah SWT 


(6) Ketenangan dan ketentraman, Asal dari semua itu adalah ketenangan dan ketentraman yang diberikan oleh Allah kepada hati hamba-Nya yang sedang berada dalam keguncangan dan kegalauan karena rasa takut setelah itu semua goresan hati tidak membuatnya tergangu, bahkan kekuatan iman dan keyakinannya semakin besar dengannya. inilah ketentraman yang timbul karena adanya keridhaan



 

 



Tidak ada komentar: